Home   Blog  
Update

  Monday, 06 August 2018 04:37 WIB

Tato Tenun NTT di Tubuh Nenek 80 Tahun

Author   Tempo Institute

Tangan Rosinah Soik, 80 tahun, penuh tato motif tenun. TEMPO/Mardiyah Chamim

Rosina Soik Taek sudah berusia lebih dari 80 tahun. Dialah satu dari sedikit perempuan yang membawa kisah kain tenun di tubuhnya. Tangan dan kakinya penuh dengan rajah tato motif tais. “Ada motif walet, candi, bunga, buaya,” katanya sambil menunjukkan deretan tato di tangan. Saat ini tak sampai sepuluh orang di Kabupaten Belu yang seperti Rosina, mengawetkan tenun di tubuhnya.

Kami bertemu Mama Rosina di Rumah Adat Beituka, Desa Faturika, Raimanuk, Belu, Nusa Tenggara Timur, Jumat, 4 Agustus 2018. Proses membuat tato ini, menurut Martina Muti Besin, anak Rosina, tidak sembarangan. Ada ritual dan upcaranya. Gambar tato di tubuh Mama Rosina yang jumlahnya sekitar 20 itu tak ubahnya seperti dokumentasi. “Dulu kan tak ada kamera, jadi motif tenun digambar di badan,” kata Martina. “Kalau ada penenun yang lupa motif, dia bisa datang ketemu Mama kami, lalu lihat motif di tangan kaki Mama.”

Rosina adalah generasi terakhir yang menato motif tenun di tubuh. Generasi yang kemudian, Martina Besin dan anak-anaknya, tak lagi menato badan dengan motif tenun. “Sakitlah. Takut. Mama lebih berani dari kami,” kata Martina sambil terbahak. Apalagi di masa kini pun sudah melimpah kamera telepon genggam. “Tinggal foto kainnya, simpan di telepon genggam, beres sudah,” kata Martina.

Yang menggembirakan, sejak beberap tahun terakhir makin banyak mama-mama dan anak gadis yang suka menenun. “Ingatan sama-sama kami jaga,” kata Martina. Motif yang rumit, cara mengikat, berapa urat benang yang ditenun, teknik mewarnai, semuanya dihafalkan bersama komunitas perempuan penenun. Setiap langkah tak boleh salah. “Karena kalau salah, motif kain bisa berantakan dan kami bisa disuruh bongkar dari awal,” kata Nella, anak menantu Martina, yang juga menenun.

Tenun memang semakin berkembang di Nusa Tenggara, termasuk di Belu. Dulu, para perempuan menenun untuk kebutuhan sendiri. Kain hasil tenun dikenakan di berbagai upacara adat, mulai dari panen, syukuran rumah adat, pernikahan, sampai kematian. Belakangan, orang mulai menghargai tenun.

Tenun

Kaki Rosinah Soik, 80 tahun, penuh tato motif tenun. TEMPO/Mardiyah Chamim

Selembar tenun dengan motif talik khas Raimanuk, jenis motif yang paling susah dan butuh enam bulan sampai setahun proses menenun, dihargai antara Rp 2 sampai Rp 10 juta. Kain tenun fafoid, motif geometris yang relatif sederhana, dijual Rp 500-750 ribu. “Kain motif fafoid ini juga butuh pengerjaan lama, bisa dua bulan,” kata Martina.

Perjalanan ke Raimanuk ini rangkaian dari proses pendahuluan “Program Lawatan 12 Kota, Pendampingan Komunitas Kreatif Bekraf dan Tempo”. Di sepanjang program ini, Agustus sampai Oktober 2018, Bekraf dan Tempo Institute mendatangi komunitas kreatif di 12 kota, yakni di Padang, Bandung Barat, Bojonegoro, Malang, Surabaya, Maumere, Kupang, Atambua, Kendari, Singkawang, dan Merauke. Workshop storytelling, pemasaran, berbagi pengalaman dengan kreator inspiratif, dan temu komunitas akan mewarnai program ini.

Bupati Bellu Willybrodus Lay menyambut gembira program Komunitas Kreatif Bekraf dan Tempo ini. Willy ingin para pelaku ekonomi kreatif di wilayahnya berkembang dan meningkatkan skill menceritakan dan memasarkan produk. “Saya sudah keliling ke semua daerah, memang di Belu ini masih banyak mutiara yang terpendam, salah satunya tenun menanti diceritakan pada masyarakat luas,” katanya.

TEMPO.CO

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox