Home   Blog  
Kiat

  Friday, 21 August 2020 17:48 WIB

Ini 5 Pahlawan Nasional yang Mencintai Buku sejak Muda, Siapa Saja?

Author   Admin Blog

Mohammad Hatta (Dokumen Indonesia Tanah Airku, 1952)

Membaca buku bisa memperluas wawasan dan melahirkan pemikiran kritis. Selain aktif menuliskan gagasan dan pemikiran tentang kemerdekaan, para pahlawan nasional terdahulu juga suka membaca beragam buku. Seperti buku-buku bertema sosial, politik, budaya, dan sastra.

Berikut cerita dari deretan pahlawan nasional yang suka membaca buku sejak muda.

5 Pahlawan Nasional yang Suka Membaca Buku sejak Muda

 

1. Ir. Soekarno, penggagas konsep Pancasila

pahlawan nasional yang suka membaca buku

Soekarno (https://republika.com)

Proklamator kemerdekaan RI ini suka membaca buku-buku milik ayahnya yang merupakan seorang guru. Ia juga suka membaca buku selama bersekolah di HBS karena dekat dengan seorang guru.

Soekarno juga gemar membaca buku-buku biografi tokoh negarawan dunia selama tinggal di rumah Tjokroaminoto. Selain itu, ia juga aktif mengikuti diskusi para tokoh pergerakan nasional yang berkumpul di rumah Tjokroaminoto. Hal inilah yang menumbuhkan jiwa nasionalisme dan kritis dalam diri Soekarno.

Kecintaannya pada buku, membuat Soekarno menyimpan laci berisi buku-bukunya di toilet. Suatu waktu Mega mengambil salah satu buku dan lupa mengembalikannya. Kemudian Soekarno menyetrap Mega karena lupa pada halaman berapa buku tersebut sedang terbuka (Seri Buku Saku Tempo: Bapak Bangsa-Sukarno, 2017).

Presiden pertama Republik Indonesia ini telah melahirkan banyak karya fenomenal. Di antaranya dua jilid buku berjudul Di Bawah Bendera Revolusi yang berjumlah 630 halaman, pledoi Indonesia Menggugat yang ia susun di dalam ruang tahanan Penjara Banceuy, hingga pidato yang menjadi cikal-bakal lahirnya Pancasila.

2. Mohammad Hatta, pencetus ide ekonomi kerakyatan

pahlawan nasional yang suka membaca buku

Mohammad Hatta (Dok. Indonesia Tanah Airku, 1952)

Bung Hatta dikenal dengan kegemarannya membaca dan mengoleksi buku sejak umur 16 tahun. Ia pertama kali dikenalkan pada buku oleh pamannya yang bernama Mak Etek Ayub. Toko buku Antiquariaat adalah toko buku pertama yang ia kunjungi.  Selama menjadi mahasiswa di Amsterdam, Bung Hatta banyak membeli buku sehingga kamarnya penuh sesak dengan buku-bukunya. Saat berkeluarga pun, ia tak memiliki deposito karena tabungannya habis untuk membeli buku. 

Bung Hatta terkenal gemar memberikan buku pada orang lain. Ia memberikan maskawin berupa buku berjudul Alam Pikiran Yunani kepada istrinya, Rahmi Rahim. Alam Pikiran Yunani adalah buku tentang filsafat yang ia tulis sendiri. 

Bung Hatta juga kerap membawa buku-bukunya saat diasingkan ke Banda Neira dan Boven Digoel, totalnya ada 16 peti. Hal ini ia lakukan agar tetap bisa membaca dan menulis banyak hal meskipun berada di dalam penjara. Saat ini buku-buku koleksinya disimpan rapi dalam bentuk perpustakaan di rumah keluarga Hatta, di Jalan Diponegoro 57 Jakarta Pusat. 

Hingga tahun 1972, Mohammad Hatta telah menulis 42 buah buku. Di mana itu belum termasuk tulisan-tulisannya di surat kabar, majalah, dan brosur. Ia juga melahirkan gagasan tentang ekonomi kerakyatan dan koperasi bagi Indonesia. Hal ini didorong oleh perhatiannya terhadap perbaikan ekonomi rakyat kecil. Atas jasanya ini, ia diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia.

3. Ki Hadjar Dewantara, pelopor konsep kemerdekaan berpikir

pahlawan nasional yang suka membaca buku

Ki Hadjar Dewantara (https://nasional.okezone.com)

Bapak Pendidikan Nasional ini  bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar seperti De Express, Utusan Hindia, dan Kaum Muda. Ia banyak mengkritik kebijakan pemerintah kolonial terkait pendidikan, di mana hanya anak-anak Belanda dan anak-anak priyayi saja yang bisa mengakses pendidikan.

Tulisan Ki Hadjar Dewantara yang paling dikenal pada masa itu adalah Een voor Allen maar Ook Allen voor Een atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga” dan Als ik een Nederlander was atau ”Seandainya Aku Seorang Belanda”. Kedua tulisan tersebut terbit di surat kabar De Express pada 19 Juli 1913 yang diasuh Ernest Douwes Dekker. Akibat tulisan-tulisannya ini, ia pun diasingkan ke Belanda bersama dua rekannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Ketiga tokoh ini yang kemudian dikenal sebagai ‘Tiga Serangkai’. 

Di Belanda, Ki Hadjar Dewantara tetap aktif belajar sehingga mendapatkan ijazah pendidikan yang disebut Europeesche Akte. Selain itu, ia juga aktif berorganisasi di perhimpunan pelajar asal Indonesia, yang disebut Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Sepulangnya ke Indonesia, Ki Hadjar Dewantara aktif berkegiatan di dunia pendidikan. Ia juga melepas gelar kebangsawanan miliknya di usia 40 tahun, agar bisa lebih dekat dengan rakyat. 

Pada 13 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara mendirikan National Onderwis Instituut Tamansiswa, atau yang dikenal dengan Taman Siswa di Yogyakarta. Ia menggagas falsafah pendidikan ‘ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’, yang berarti ‘di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan’. Hingga kini, falsafah pendidikan tersebut terus digunakan di dunia pendidikan Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara juga mempelopori gagasan kemerdekaan berpikir sebagai proses pendidikan. Di mana anak-anak diarahkan untuk bebas berpikir dalam proses belajarnya, agar kelak memiliki ide orisinil dalam berpikir dan bertindak ketika menghadapi tantangan di masa depan. 

4. R.A. Kartini, membela hak-hak perempuan

R.A. Kartini (https://kompas.com)

Raden Ajeng Kartini mulai gemar membaca sejak dibawakan buku-buku oleh kakaknya, Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono. Kartini dikenal sebagai pribadi yang lincah dan pandai sehingga Ayah dan saudaranya menjulukinya dengan sebutan ‘Trinil’. Ia mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) hingga berumur 12 tahun. Selama di ELS, Kartini terkenal akan kemahirannya dalam berbahasa Belanda.

Setelah itu, Kartini terpaksa menjalani tradisi pingitan sampai ada seorang pria yang melamarnya. Masa pingitan ini justru membuat Kartini semakin rajin membaca dan menulis. Bacaan bertema sosial, budaya, politik, agama, sastra, hingga keperempuanan berbahasa Belanda habis ia lahap.

Beberapa bacaan Kartini di antaranya surat kabar Semarang De Locomotief milik Pieter Brooshooft, majalah kebudayaan Eropa, majalah wanita De Hollandche Lelie, buku De Stille Kraatch (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, buku Augusta De Witt karya Van Eeden, buku Max Havelaar dan Surat-surat Cinta karya Multatuli, roman feminis karya Ny. Goekoop de Jong Van Beek, serta roman anti perang Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata) karya Berta Von Suttner. 

Kartini menuangkan gagasan dan pemikirannya tentang persamaan hak-hak wanita pribumi melalui surat-surat yang ia tulis kepada kawannya di Belanda. Ia juga mengirimkan berbagai artikel yang ia tulis ke surat kabar dan majalah. Tulisannya banyak yang sudah dipublikasikan di sejumlah media dan jurnal. 

Salah satu tulisan Kartini yang terkenal berjudul Het Huwelijk de Kodja’s (Perkawinan pada Suku Koja) yang ia tulis pada umur 16 tahun. Tulisannya ini menceritakan tentang upacara perkawinan suku Koja di Jepara. Tiga tahun kemudian, ia menulis artikel tentang seni Jepara yang dipublikasikan di Bijdrage Voor Taal, land en Volkenkunde, sebuah jurnal ilmiah bergengsi di Belanda.

Selain itu, tulisannya yang berupa surat-surat untuk sahabatnya Abendanon (1879-1904), telah dibukukan menjadi karya fenomenal yang berjudul Door Duisternis tot LichtDoor Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). 

5. Tan Malaka, pahlawan nasional yang suka membaca buku kesetaraan ekonomi

Tan Malaka (https://tirto.id)

Bapak Republik Indonesia ini sangat mahir berbahasa Belanda. Hal inilah yang kemudian membuatnya dikirim untuk belajar di Rijkskweekschool, Belanda pada Oktober 1913.

Pada saat itu, filsafat ekonomi dan sosial sedang masif berkembang di Eropa. Tan Malaka banyak membaca buku tentang kemiliteran, ekonomi, sosial, dan politik. Pengetahuannya tentang revolusi, ia dapatkan pertama kali melalui buku de Fransche Revolutie. Salah satu tempat kesukaannya adalah Toko Buku De Vries, yang berdampingan dengan rumah tempat Tan Malaka tinggal di Belanda.

Setelah pecahnya Revolusi Rusia pada 1917, Tan Malaka tertarik mempelajari tentang kesetaraan hak ekonomi bagi masyarakat. Ia melahap habis buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engles, dan Vladimir Lenin.

Sepulangnya ke Indonesia, Tan Malaka sibuk membela hak-hak kaum buruh sekaligus mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Ia membantu berbagai serikat buruh di Pulau Jawa dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Mulai dari buruh perkebunan teh, buruh tambang minyak, buruh rel kereta, hingga buruh percetakan.

Pada tahun 1925, Tan Malaka menulis buku berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Buku ini berisi gagasan konsep republik dan menjadi tulisan pertama yang menyebut ‘Republik Indonesia’. Buku ini menjadi pegangan para tokoh pergerakan nasional, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Amir Sjarifuddin.

Di buku Madilog ia membahas ‘’logika mistika’’, hal yang menghambat bangsa Indonesia untuk maju dan merdeka pada saat itu. Ia menyuguhkan cara berpikir baru berdasarkan filsafat dan sains agar bangsa Indonesia bisa keluar dari keterbelakangan dan ketertinggalan.

Buku-buku lain yang ia tulis adalah Rentjana Ekonomi, Theses, dan Gerilya Politik Ekonomi (Gerpolek).

Kelima pahlawan nasional ini juga membagikan gagasan-gagasannya lewat tulisan untuk membela keadilan. Dibutuhkan kemampuan menulis yang mumpuni agar pesan tersampaikan. Anda bisa mengikuti kelas menulis opini di Tempo Institute agar tulisan Anda semakin tajam dan jelas.

Penulis: Erdisa Nurmalia
Editor: Fadhli Sofyan

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox