Home   Blog  
Kiat

  Wednesday, 26 August 2020 11:42 WIB

Ingin Jadi Jurnalis? 5 Film Berdasarkan Kisah Nyata Ini Wajib Kamu Tonton!

Author   Admin Blog

Spotlight (https://independent.co.uk)

Seorang jurnalis investigasi haruslah berani dalam mengungkapkan kebenaran. Wartawan investigasi seringkali mengalami kendala saat menghadapi pemangku kekuasaan. Hal ini menjadi ujian tersendiri bagi seorang jurnalis agar tetap independen dan netral. Anda bisa menonton deretan film bertema jurnalistik berdasarkan kisah nyata ini untuk mengintip bagaimana kehidupan para wartawan saat bertugas.

1. Spotlight (2015), film bertema jurnalistik dalam mendobrak ketabuan

Spotlight (https://theatlantic.com)

Tim Spotlight terdiri dari empat jurnalis investigasi, dan bekerja untuk surat kabar Boston Globe. Spotlight sendiri sebelumnya sudah terbiasa mengungkap kasus-kasus besar yang tersembunyi. Mereka membongkar kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak. 90 pastor gereja Katolik di Boston, Amerika Serikat terlibat dalam kasus ini.

Semuanya berawal ketika Boston Globe kedatangan editor baru bernama Marty Baron. Marty ingin membuat Boston Globe menjadi surat kabar yang penting bagi pembacanya. Marty pun menugaskan tim Spotlight untuk menyelidiki kasus pelecehan seksual oleh pastor John Geoghan. Kasus ini sudah lama terjadi namun tidak ada tindak lanjut secara hukum.

Film ini menceritakan perjuangan para jurnalis investigasi Boston Globe mengumpulkan data-data dan bukti-bukti terkait kasus ini. Mulai dari mewawancarai para korban pelecehan seksual dan mengumpulkan arsip-arsip gereja. 

Akhirnya tim Spotlight mampu mengungkap fakta dan kebenaran dari kasus ini. Pemberitaan ini menghebohkan banyak orang. Korban-korban pelecehan seksual lain akhirnya berani mengungkapkan apa yang pernah mereka alami.

Film ini mampu menceritakan dengan apik bagaimana proses dari liputan investigasi. Seorang jurnalis investigasi harus cerdik, kritis, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan tahan banting. 

2. All the President’s Men (1976), ketika penguasa melakukan konspirasi

film bertema jurnalistik

All the President’s Men (https://britannica.com)

Mengisahkan perjuangan dua jurnalis Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein dalam mengungkap skandal Watergate. Richard Nixon dengan tim suksesnya melakukan spionase terhadap saingannya, Partai Demokrat, agar ia bisa memenangkan Pilpres AS 1972.

Pada awalnya Ben Bradlee, kepala redaksi Washington Post, tidak mempercayai Woodward karena belum berpengalaman. Setelah perdebatan panjang, akhirnya Breedle menugaskan Woodward dan Carl Bernstein untuk melakukan investigasi terhadap skandal Watergate ini.

Seorang informan dengan nama samaran ‘Deep Throat’ membantu mereka. Deep Throat mengarahkan mereka untuk menyelidiki aliran dana sebesar 25 ribu dolar AS yang menjadi kunci pembongkaran skandal ini.

Woodward dan Bernstein juga melakukan pengumpulan data dengan sangat detail. Mereka memeriksa riwayat kampanye politik, daftar staf keuangan pemerintah, riwayat transfer uang, daftar panggilan telepon, sampai daftar peminjam buku perpustakaan. Pada 9 Agustus 1974, Nixon pun tumbang dari jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat.

Film ini menggambarkan bagaimana jurnalis membuktikan skandal politik yang melibatkan banyak orang dengan kepentingan dan kekuasaan. Woodward dan Bernstein mendapatkan ancaman pembunuhan dan penyadapan karena menyelidiki skandal ini. Namun semua resiko itu tidak membuat Woodward dan Bernstein menyerah untuk membela kebenaran. Tidak heran jika keduanya mendapatkan penghargaan Pulitzer 1974 atas karya dan kerja keras mereka. 

3. The Insider (1999), keteguhan memperjuangkan kebenaran

film bertema jurnalistik

The Insider (https://parkcircus.com)

Film ini membawa penonton dalam ketegangan seorang whistleblower, Jeffrey Wigand yang mengungkap kebohongan dan konspirasi perusahaan tembakau tempat ia pernah bekerja. Wigand adalah mantan direktur riset perusahaan Brown & Williams (B&W), salah satu perusahaan rokok terkemuka di Amerika Serikat.  Wigand dipecat dari jabatannya karena tidak setuju dengan kebohongan dan konspirasi B&W yang menambahkan zat adiktif pada rokok produksinya sehingga membuat konsumennya kecanduan.

Di saat yang sama, seorang jurnalis dan produser acara televisi 60 Minutes, Lowell Bredman sedang melakukan investigasi terhadap industri tembakau karena ia mendapatkan dokumen rahasia Phillip Morris. Bredman pun menemui Wigand untuk menggali informasi yang berhubungan dengan kebohongan perusahaan rokok. Tunjangan Wigand dicabut dan ia mendapat ancaman pembunuhan karena membocorkan rahasia B&W.

Di sisi lain, jajaran eksekutif CBS News menginginkan agar dilakukan penyuntingan terhadap pengakuan Wigand terkait kebohongan dan konspirasi perusahaan tembakau kepada 60 MinutesHal ini disebabkan karena pengakuan Wigand nantinya dapat mempengaruhi kesepakatan saham yangmenguntungkan CBS Corporate.

Kasus ini menggemparkan warga AS karena tidak lama sebelum itu terdapat peristiwa The 7 Dwarves of Tobacco Industry. 

Atas keteguhan Wigand dan Bregman, pengadilan pun mendenda perusahaan tembakau sebesar 246 miliar dolar AS atas kebohongan mereka yang menyatakan bahwa nikotin bukan zat adiktif.

Film bertema jurnalistik ini menggambarkan dengan apik bagaimana perjuangan dan idealisme seorang whistleblower dan jurnalis mengungkap kebenaran untuk kepentingan publik dan dihalangi oleh berbagai pihak dengan kepentingan pribadi. Film ini juga menyampaikan pesan bahwa seharusnya media berpihak pada kebenaran dan kepentingan publik, serta independen tanpa ‘disetir’ oleh kepentingan kelompok. 

4. Private War (2018), film bertema jurnalistik tentang wartawan perang 

Private War (https://opinidizu.com)

Menceritakan kisah perjuangan seorang jurnalis perang Sunday Times, Marie Colvin. Colvin sudah meliput banyak peperangan dalam perjalanan kariernya sebagai wartawan perang. Mulai dari konflik Chechnya, Kosovo, Sierra Lone, Zimbabwe, Afghanistan, Irak, Sri Lanka, sampai Timor Timur. Pada 1986 ia berhasil mewawancarai Muammar Khadafi, pemimpin Libya.

Colvin adalah seorang humanis yang meliput konflik dan perang dari sisi korban perang. Tulisan-tulisannya membeberkan fakta bahwa perang telah merenggut banyak nyawa, kebebasan hidup, dan keamanan warga sipil. Laporan-laporan jurnalistiknya berpihak pada kemanusiaan dan masyarakat sipil, bukan pihak-pihak yang berkuasa dan memiliki beragam kepentingan politik maupun ekonomi. Atas dedikasi dan komitmennya ini ia mendapat penghargaan Foreign Reporter of The Year sebanyak tiga kali dari British Press Awards.

Namun pengabdiannya terhadap kemanusiaan tidaklah gratis. Ia mengalami trauma yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), akibat luka batin karena melihat terlalu banyak penderitaan di daerah konflik. Ia juga kecanduan alkohol dan kehidupan rumah tangganya runyam.

Colvin memilih kembali ke medan perang. Ia melaporkan 28.000 warga sipil yang menjadi korban dari konflik Suriah. CNN, BBC, Channel 4, dan ITN News menyiarkan secara langsung siaran Colvin. Namun ia gugur setelah lokasinya terlacak dan pasukan Assad menyerbunya.

Colvin mengingatkan kita bahwa jurnalisme adalah soal memberitakan kebenaran, membela hak-hak kemanusiaan, dan menggaungkan suara mereka yang tertindas. Menjadi seorang jurnalis berarti terhubung dengan manusia, mendengar cerita mereka, dan menyuarakannya kepada dunia. 

5. The Post (2017), perseteruan antara pers dan pemerintah

film bertema jurnalistik

The Post (https://variety.com)

Film ini menggambarkan pertarungan pemerintah versus pers dengan apik. Berawal ketika analis militer Daniel Ellsberg membocorkan Pentagon Papers, dokumen rahasia Amerika Serikat yang membeberkan kebohongan akan keterlibatan AS di Perang Vietnam, kepada reporter New York Times, Neil Sheehan. .

Hakim federal AS pun melarang dan menghalangi New York Times untuk menerbitkan lebih jauh Pentagon Papers. Editor eksekutif Washington Post, Ben Bradlee tidak mau kalah, dan berhasil mendapatkan dokumen Pentagon Papers dari Ellsberg. 

Katherine Graham, pimpinan Washington Post yang baru, ragu dalam mengambil keputusan terkait kasus ini. Ia takut akan kehilangan perusahaannya, namun ia juga ingin memperjuangkan hak kebebasan pers.

Graham akhirnya memutuskan untuk tetap memberitakan Pentagon Papers. Film ini banyak menggambarkan hiruk-pikuk ruang redaksi, rapat reporter berjilid-jilid, proses penyuntingan yang sangat teliti, hingga kondisi produksi yang masih tradisional. 

Pemerintah AS akhirnya menuntut Washington Post ke pengadilan karena publikasinya. Beruntung, surat kabar lain seperti Boston Globe dan Times, telah ramai membahas Pentagon Papers. Pihak pers pun memenangkan persidangan ini.

Nixon pun mengumumkan berakhirnya Perang Vietnam pada 1973. Karena kasus ini, pemerintah Amerika Serikat membuat amandemen pertama terhadap undang-undang kebebasan pers.

The Post menjadi refleksi bagi pemerintah dan media dalam penyelenggaraan demokrasi dan kebebasan pers. Pers harus menjadi lembaga yang independen dan berintegritas, bukan sebagai alat politik pemerintah. 

 

Anda bisa mengikuti berbagai kelas jurnalistik di Tempo Institute, sehingga menjadi jurnalis handal bukan lagi sekadar mimpi.

 

Penulis: Erdisa Nurmalia
Editor: Fadhli Sofyan

 

 

 

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox