Home   Blog  
Kolom

  Tuesday, 29 May 2018 21:02 WIB

Meja Barista dan Fasih Berita

Author   pwtsetiadi

Serba-terbuka di meja barista.

Oleh Purwanto Setiadi

Siapa pun yang menyebut media sosial bagaikan pedang bermata dua sesungguhnya tak berlebihan. Di sisi baiknya, media sosial memang menyediakan peluang yang luar biasa bagi mereka yang terpinggirkan untuk bersuara. Di sisi buruknya, ia bisa begini: dominan membanjiri publik dengan macam-macam informasi, yang dibutuhkan maupun yang tak berguna, yang membantu orang membuat keputusan maupun yang semata-mata sampah–yakni berupa kabar kibul dan hasutan. Diakui atau tidak, yang ikut timbul dari fenomena kedua ini justru kekeruhan.

Dengan siklusnya yang tanpa henti, informasi sering langsung menghampiri ruang-ruang pribadi penggunanya–melalui aplikasi perpesanan (WhatsApp, Telegram), lewat aplikasi layanan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, atau surat elektronik. Informasi yang datang bergantian itu merampas waktu untuk mencerna apa yang baru saja tiba. Alih-alih menambah pengetahuan yang valid bagi penggunanya, media sosial justru menimbulkan kebingungan. Yang benar dan bisa dipercaya serta yang hanya mencari sensasi atau bahkan menciptakan distorsi seakan-akan saling bertarung di medan tempur, berebut pengaruh.

Yang serta-merta merasakan efek dari semua itu adalah jurnalisme yang baik, juga organisasi pemberitaan yang sungguh-sungguh mempraktekkannya. Jumlah pembaca terus berkurang, atau sulit tumbuh; atau, setidak-tidaknya, tiras (jika masih menerbitkan versi cetak) menyusut.

Ada hal lain yang juga menghadang jurnalisme yang baik, termasuk organisasi pemberitaan yang menjunjungnya tinggi-tinggi: publik yang terang-terangan meragukan dan mempertanyakan integritas dan kredibilitasnya, di samping kualitas produknya. Menghadapi kepungan skeptisisme ini, wartawan atau jurnalis tak bisa lagi bersikap seperti di masa ketika jurnalisme masih memungkinkan wartawan berkata, “percayalah kepada kami” atau “saya sudah meliput isu itu dan saya bekerja di organisasi ini, jadi kalian harus mempercayai saya.”

Terasa ada yang pelik di situ, bahkan jika bisa diyakini bahwa yang diinginkan konsumen adalah wartawan sanggup menunjukkan proses di balik produksi atau penulisan berita: mengapa yang dipilih topik A bukan B, apa saja yang telah ditempuh untuk itu dan siapa serta bagaimana sumber-sumber didekati, seperti apa reaksi mereka, dan mengapa mereka bersedia merespons pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Tuntutan “tunjukkan kepada saya” ini wajar bila diingat yang dihadapi kini adalah lingkungan yang di dalamnya semakin berlimpah berita/informasi, kian banyak berita yang buruk reportasenya, dan bahkan terdapat propaganda politik yang menyaru sebagai berita. Masalahnya, berdasarkan fakta yang ada, tak sedikit konsumen yang memang sudah antipati sejak dari pikiran–karena kecurigaan yang dilatarbelakangi sentimen agama dan asosiasi politik.

Tentu saja, jurnalisme yang baik dan organisasi pemberitaan yang mempraktekkannya tak boleh menyerah. Sikap ini penting supaya tujuan jurnalisme (“memberdayakan mereka yang melek informasi,” jika mengutip panduan American Press Institute), juga misi organisasi (misalnya menjadikan Indonesia lebih baik), tetap dipegang teguh. Tapi apa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan kembali kepercayaan konsumen?

Jalan yang bisa ditempuh mestilah bertumpu pada prinsip yang mengakomodasi fungsi dan karakteristik khas Internet, media sosial, juga memanfaatkan kelebihan-kelebihan teknologi informasi–faktor-faktor penting di era digital. Jurnalisme yang “baru” ini harus mampu memberi informasi, melibatkan, mengilhami, dan menggerakkan orang untuk ikut berperan sebagai warga negara yang bebas dan mampu mengatur diri sendiri.

Agar hal itu bisa dicapai, ada yang perlu ditanggalkan dalam praktek jurnalisme “lama”, yakni ketertutupan ruang pemberitaan. Keterbukaan, transparansi, adalah keniscayaan.

Tindakan membuka ruang pemberitaan itu merupakan prasyarat untuk bisa mengakui pergeseran pandangan bahwa jurnalisme adalah proses yang terus berjalan, bukan produk akhir. Pandangan yang berkebalikan dengan yang berlaku dalam jurnalisme “tradisional” ini memungkinkan pembaca bukan saja melihat proses di ruang pemberitaan (layaknya meja barista di kedai-kedai kopi), melainkan ikut berpartisipasi sejak proses pra-penerbitan dan bahkan setelah berita disiarkan. Di sini wartawan, juga organisasi pemberitaan, mengakui bahwa mereka bukan satu-satunya otoritas–bukan yang paling tahu segala hal.

Istilah yang digunakan antara lain oleh The Guardian untuk model itu adalah jurnalisme terbuka. Koran terbitan Inggris ini mulai mengadopsinya tujuh tahun lalu; banyak yang telah dicapai lewat liputan-liputannya. Kini sudah tak terhitung berapa banyak organisasi pemberitaan yang ikut menerapkannya, dengan berbagai derajat dan variasi. Ada yang berhasil, tak sedikit pula yang masih bergulat.

Selain masalah internal, terutama menemukan formula keterbukaan yang tepat, yang berpotensi menghambat–jika bukan menggagalkan–penerapan model itu adalah faktor konsumen atau pembaca beritanya. Bagaimanapun, harus diakui kemampuan konsumen untuk secara kritis memproses informasi tergantung seberapa terampil mereka membedakan hasil reportase yang baik dari hasil reportase yang buruk atau bahkan palsu. Dalam kenyataannya ada lebih banyak konsumen yang tak mampu membedakan isi berita hasil reportase yang kukuh dengan hasil pekerjaan yang spekulatif, miskin sumber, atau semata-mata ditopang desas-desus atau insinuasi.

Menjadi tak terelakkan, dalam hal itu, pentingnya pendidikan dan peningkatan kapasitas konsumen. Tom Rosenstiel dan Jane Elizabeth menyebut tujuan yang hendak dicapai dari upaya untuk ini sebagai “fasih berita”. Yang mereka maksud, sebagaimana mereka kemukakan dalam sebuah artikel di website American Press Institute belum lama ini, adalah konsumen yang menguasai cara-cara mengenali berita yang mengandung reportase yang baik. Wartawan, menurut mereka, punya kewajiban mewujudkan hal itu.

Mereka mengusulkan cara dalam jurnalisme yang membantu konsumennya menjadi lebih fasih dan terampil, dengan semakin banyak berita yang mereka baca. Menurut mereka, wujud dari cara ini adalah dengan lebih “mengeksplisitkan proses dan prinsip reportase”, yakni menempatkannya di atas ketimbang menyematkannya di dalam narasi berita. Dalam melakukan hal ini, secara alami, wartawan akan selalu mengantisipasi dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menurut logika akan diajukan orang berkaitan dengan suatu berita–misalnya apa yang baru, apa buktinya, siapa sumbernya dan mengapa mereka, fakta apa yang belum diketahui, apa yang masih diperselishkan.

Rosenstiel dan Elizabeth juga membayangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu diletakkan di dalam boks, poster, anotasi, jendela dialog, atau bentuk lain di atas narasi berita. Mereka menganalogikan hal ini dengan label standar nutrisi pada makanan kemasan, yang berisi informasi tentang apa saja bahan yang digunakan. Di Amerika Serikat kewajiban penempelan label ini–dimulai pada 1994–telah mengubah perilaku konsumen: keputusan membeli atau tidak membeli akan tergantung informasi di dalam label.

Mereka yakin, di era ketika skeptisisme bagaikan demam yang sedang memuncak ini, semakin kerap konsumen terpapar label semacam itu pada setiap berita, secara alami akan terbentuk pada dirinya kemampuan untuk menilai berita. Dengan kata lain, konsumen menjadi lebih fasih.

Sangat boleh jadi akan ada kelompok konsumen yang tertinggal, atau memang mustahil dididik. Mereka yang ada dalam kerumunan ini, apa boleh buat, bakal terus diombang-ambingkan isi informasi yang mereka konsumsi. Mereka memang tak bisa ditolong lagi.

Penulis adalah wartawan, penyunting buku Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, pernah menjadi Redaktur Pelaksana Tempo. Ia juga menulis tentang musik, kopi, dan sepeda di akun Facebook-nya.

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox